Friend

Minggu, 17 Januari 2010

TINJAUAN YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG KETAATAN PERAWAT TERHADAP HUKUM SESUAI PERAN DAN FUNGSINYA SEBAGAI TENAGA KESEHATAN


OLEH : IDA SUGIARTI
NPM : 20040009001 – 00844



Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2009


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Melihat penjelasan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan tersebut, upaya kesehatan merupakan kegiatan yang terus – menerus, terintegrasi, menyeluruh dan ditujukan sepanjang rentang kehidupan manusia baik sehat maupun sakit bahkan mulai dari manusia itu lahir sampai menjelang ajal harus dilayani oleh tenaga kesehatan dengan tujuan mempertahankan derajat kesehatan yang optimal sesuai dengan kondisinya. Definisi kesehatan harus dipahami oleh tenaga kesehatan sesuai dengan definisi UU 23/1992 tersebut bukan hanya sehat secara fisik saja tapi juga harus diperhatikan kesehatan dari jiwa dan lingkungan sosialnya, sehingga tujuan mencapai derajat kesehatan yang optimal bisa terwujud sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti yang tersurat dalam alenea IV (keempat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi dari kebijakan UU 23/1992. Pelayanan kesehatan selama ini seringkali hanya tersentral pada pelayanan medik saja yang berorientasi pada kesembuhan (curatif) seperti yang diatur oleh UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Pelayanan kesehatan yang terfragmentasi tentu tidak akan optimal mencapai derajat kesehatan yang dimaksud UU 23/1992 tersebut, tetapi membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terintegrasi dari semua tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan diatur oleh Undang-Undang untuk dapat bekerja sesuai dengan lingkup kewenangan peran dan fungsinya.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Sejauh mana peran dan fungsi perawat sebagai tenaga kesehatan?
2. Bagaimana ketataan perawat terhadap hukum sesuai peran dan fungsinya sebagai tenaga kesehatan dilihat dari tinjauan yuridis dan sosiologis?



C. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan ini terdiri dari tiga bab. Bab I, Pendahuluan berisi latar belakang peran dan fungsi perawat sebagai tenaga kesehatan, Identifikasi masalah dan metodologi penulisan. Bab II, Pembahasan, berisi tinjauan pustaka tentang peran dan fungsi perawat, tinjauan yuridis peran dan fungsi perawat sebagai tenaga kesehatan, tinjauan sosiologis ketataan perawat terhadap hukum sesuai peran dan fungsinya sebagai tenaga kesehatan. Bab III, Penutup, terdiri dari simpulan dan saran.
















BAB II
PEMBAHASAN

A. PERAN DAN FUNGSI PERAWAT
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi, sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat. Ciri –ciri dari profesi adalah dilandasi ilmu pengetahuan tertentu, relevansi dengan nilai sosial, motivasi terhadap kerja, melewati jalur pendidikan (pelatihan) di institusi pendidikan, memiliki otonomi, komitmen terhadap pekerjaan, rasa komunitas dalam kelompok profesi, dan harus memiliki kode etik. Salah satu ciri profesi yang paling banyak direkomendasikan oleh banyak ahli sosiologi adalah profesi harus memiliki otonomi sebagai satu-satunya karakteristik pembeda profesi. Otonom adalah kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah dan tindakannya sendiri. Untuk memiliki otonomi, profesi keperawatan harus memiliki kewenangan legal untuk menetapkan ruang lingkup prakteknya, menjelaskan peran dan fungsi khususnya yang membedakannya dengan profesi lain, dan dapat menentukan tujuan dan tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan.
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit. Doheny et al, (1982 : 109), dalam bukunya the Discipline Of Nursing mengidentifikasi elemen peran perawat professional sebagai berikut :
a. Care giver (Pemberi asuhan keperawatan)
b. Client advocate
Perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights.
c. Conselor
Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat sakit
d. Educator (Pendidikan Kesehatan)
e. Collaborator (Berkolaborasi dengan tim kesehatan)
f. Coordinator
g. Change Agent
h. Consultant
Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yg lain. Fungsi perawat yaitu ;
a. Fungsi independen (mandiri)
Aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas inisiatif perawat itu sendiri dengan dasar pengetahuan dan keterampilannya.
b. Fungsi dependen (ketergantungan)
Tindakan keperawatan berdasarkan order dokter atau tenaga kesehatan lain.
c. Fungsi interdependen (kolaboratif)
Aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas kerjasama dengan tim kesehatan lain.
Berdasarkan bahasan di atas, peran dan fungsi perawat sudah jelas, bidang garapnya adalah pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia, lebih banyak ke aspek “care”, sedangkan tenaga medis, di aspek, “ cure”.

B. TINJAUAN YURIDIS PERAN DAN FUNGSI PERAWAT SEBAGAI TENAGA KESEHATAN

Undang – Undang Praktek Kedokteran N0. 29 tahun 2004, pada pasal 73 dan 77 sepertinya memberikan “warning”, untuk profesi perawat yang masih (tidak semua) berperan di masyarakat sebagai “dokter kecil” atau yang lebih dikenal dengan “Mantri Kesehatan”. Sanksi pidana yang ada, harusnya membuat tenaga perawat yang masih berkutat di bidang garap profesi lain, lebih berhati-hati dan meluruskan haluan hanya praktek sesuai dengan kewenangannya. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat, memberikan rambu-rambu Praktek Keperawatan, meskipun belum sesuai dengan harapan profesi keperawatan, karena belum jelas mengatur kewenangan dan hak serta kewajiban perawat.
Peraturan lain dalam ketentuan pasal 86 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barang siapa dengan sengaja ; melakukan upaya kesehatan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (ayat 1), melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dgn standar profesi tenaga kesehatan yg bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1), tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 33, dijelaskan ;
Dalam rangka pengawasan, menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan, tindakan disiplin dapat berupa teguran dan pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan, pengambilan tindakan disiplin dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan hukum positif di atas, membatasi perawat untuk dapat bekerja hanya sesuai dengan standar profesinya saja dalam lingkup kewenangan, hak dan kewajibannya sebagai salah satu tenaga kesehatan.

C. TINJAUAN SOSIOLOGIS KETATAAN PERAWAT TERHADAP HUKUM SESUAI PERAN DAN FUNGSINYA SEBAGAI TENAGA KESEHATAN

Berbicara tentang ketaatan atau ketidaktaatan pada hukum, Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung dalam hukum, yaitu :
1. Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan pengarapan hukum secara teratur
2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan- keputusan dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur
3. Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture yaitu kultur hukumnya lawyers dan judged’s, dan external legal culture yaitu kultur masyarakat pada umumnya.
Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum, patuh atau tidak terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya. Dalam hal ini perawat taat atau tidak taat terhadap hukum sangat tergantung kultur hukumnya yang dipengaruhi banyak faktor seperti ; usia, jenis kelamin, pekerjaan, kebangsaan, pendidikan di keluarga, dan lain-lain. Demikian pula dipengaruhi oleh kultur masyarakatnya yang masih menganggap profesi perawat sebagai pelaksana pelayanan pengobatan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat datang mengunjungi tenaga perawat untuk berobat, di antaranya ;
a. Tarif yang lebih murah, kadang-kadang kalau di daerah terpencil cukup dengan sayuran, buah-buahan hasil bertani, atau hewan peliharaan.
b. Lebih familier dengan perawat sehingga lebih mudah trust kepada perawat daripada kepada tenaga medis yang kadang-kadang memposisikan diri “lebih tinggi” dibandingkan pasien yang awam.
c. Keberadaan perawat di daerah terpencil, dan tidak adak dokter, atau dokternya hanya senang tinggal di kota saja.
d. Dan lain-lain.
Perawat ataupun masyarakat tentu tidak dapat langsung disalahkan dalam kondisi seperti ini.
Robert B. Seidman menyatakan menyatakan bahwa tindakan apapun yang akan diambil baik oleh pemegang peranan, lembaga-lembaga pelaksana, maupun pembuat Undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan studi dari ilmu-ilmu sosial, sebab hukum seperti kata Sinzheimer, tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan ia selalu berada dalam tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Pembuat Undang-Undang, ketika membuat peraturan tentang pelayanan kesehatan kadang-kadang juga memposisikan perawat sebagai “pembantu dokter” dalam pengobatan. Keberadaan Puskesmas misalnya, hanya fokus di pelayanan kuratif saja, yaitu dengan fokus perhatian di Balai Pengobatan, yang otomatis seharusnya diperankan oleh dokter. Realitas di sebagian besar Puskesmas, apalagi Puskesmas terpencil, tidak ada dokter, atau kalau sudah diangkat sebagai tenaga fungsional dokter, memilih pindah ke kota, dan perawat harus mau menjadi “peran pengganti”. Masalah lainnya, dokter sibuk praktek di rumah pribadi sehingga di Puskesmas diserahkan kepada perawat. Masyarakat akhirnya lebih mengenal perawat sebagai pemberi pelayanan pengobatan.
Masalah internal di perawat sendiri, dalam hal ini sebagai pemegang peran menurut teori Robert B. Seidman , kurang dihargai baik dari sudut profesi yang dianggap sebagai “pembantu dokter”, maupun bentuk penghargaan lain dalam bentuk insentif atau bonus. Di Puskesmas atau Rumah Sakit, misalnya adanya bentuk pelayanan gratis seringkali akhirnya menurunkan insentif untuk tenaga perawat, padahal beban kerja meningkat. Di Rumah Sakit, perawat yang bekerja 24 jam bersama pasien, insentifnya sangat jauh berbeda dengan tenaga medis. Perawat dengan beban kerja yang tinggi, dan resiko terkena penularan penyakit, hanya diberikan insentif sekedarnya dan mengandalkan gaji pokok saja. Perlindungan hukum yang jelas juga belum didapatkan, atau perlindungan lain, semacam perlindungan kesehatan. Pada akhirnya “performance” kerja perawat kadang-kadang kurang profesional. Rancangan Undang-Undang Praktek Keperawatan yang diusulkan Organisasi profesi PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), belum dikabulkan pemerintah. Masalah-masalah ini seringkali akhirnya membuat perawat bekerja sampingan menjadi “mantri”, untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
Permasalahan lain, yang turut memperkeruh pelayanan kesehatan, adalah maraknya berbagai praktek alternatif pengobatan, yang seringkali tidak berizin, dan masih diragukan manfaatnya bagi kesehatan. Keberadaannya seperti “dibiarkan” saja oleh pemerintah, padahal ada beberapa praktek pengobatan yang tidak rasional dan berbahaya bagi masyarakat. Perawat tentu dianggap lebih tahu soal pengobatan dibanding tenaga-tenaga yang menawarkan alternatif pengobatan tersebut.
Realitas masyarakat tersebut di atas, tentu menjadi bahan pertimbangan penegakan hukum kesehatan. Hukum kesehatan seolah hanya menjadi ius constituendum (hukum masa depan yang diidam-idamkan) dalam hukum positif. Northop menjelaskan bahwa hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”. Hukum yang hidup menurut Eugen Erlich dimaknakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum. Peraturan yang ada seharusnya memenuhi delapan (8) azas atau principles of legality, seperti dikemukakan Lon L. Fuller diantaranya :
1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan
3. Peraturan tidak boleh berlaku surut
4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Hukum senantiasa dibatasi oleh lingkungan dan situasi serta waktunya, sehingga kadang-kadang terjadi ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan realitasnya (das sein).





BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Peran dan fungsi perawat dibatasi oleh standar profesi dan kode etik profesi yang di atur oleh organisasi profesi PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia). Peran dan fungsi perawat juga dibatasi oleh hukum positif dalam Undang-undang maupun Keputusan Menteri Kesehatan, meskipun landasan hukum positif yang ada belum secara jelas mengatur ruang lingkup bidang garap perawat.
Perawat taat atau tidak taat terhadap hukum, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, dan faktor non hukum ternyata lebih dominan. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum, patuh atau tidak terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya. Dalam hal ini perawat taat atau tidak taat terhadap hukum sangat tergantung kultur hukumnya yang dipengaruhi banyak faktor seperti ; usia, jenis kelamin, pekerjaan, kebangsaan, pendidikan di keluarga, dan lain-lain. Demikian pula dipengaruhi oleh kultur masyarakatnya yang masih menganggap profesi perawat sebagai pelaksana pelayanan pengobatan.



B. SARAN
Berdasarkan simpulan di atas, faktor kultur hukum ternyata menempati peranan yang sangat penting, sehingga para pembuat hukum seharusnya mempertimbangkan masukan-masukan dari ilmu sosial dalam pembuatan hukum, agar tujuan hukum dapat dicapai. Aturan yang ada harus diperjelas dan mempertimbangkan realitas masyarakat yang ada sehingga kepatuhan terhadap hukum bisa lahir tanpa paksaan.
















DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. PT. Suryandaru Utama. Semarang. 2005


Kathleen et. al., Praktik Keperawatan Profesional, Konsep & Persfektif, terjemahan Yuyun Y & Budi S, EGC, Jakarta, 2007


Kusnanto, Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional, EGC, Jakarta, 2004


Kozier B, et al, Fundamentals Of Nursing, Addison Wesley, Massachusetts, 1991.


Mochtar K & Arief S, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000


B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan


UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar