Friend

Minggu, 17 Januari 2010

SINOPSIS BUKU
“PRANATA HUKUM SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS”


Tugas Mata Kuliah : Sosiologi Hukum
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Esmi Warassih, SH., M.S.


OLEH :IDA SUGIARTI
NPM : 20040009001 - 00844







Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2009

SINOPSIS BUKU
“PRANATA HUKUM SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS”

I. SINOPSIS BAGIAN I (Mulai dari Pengantar Editor)
a. Pengantar Editor : Memahami Multi-Wajah Hukum
Terdapat dua kubu seputar konsep tentang substansi hukum.
1) Kubu pemikiran doktrinal yang diilhami oleh paham hukum murni yang mengkonsepkan hukum sebagai sesuatu yang normologik atau sesuatu yang berlandasakan pada logika normatif. Konsep ini menampilkan wajah hukum sebagai sebuah norma, entah norma berupa ius constituendum, ius constitutum maupun norma hasil cipta penuh pertimbangan hakim pengadilan.
2) Kubu pemikiran non doktrinal, yang lebih mengaitkan dengan tradisi ilmu-ilmu sosial, yang mengkonsepkan hukum sebagai sesuatu yang nomologik yakni logika hukum yang berlandaskan pada nomos (realitas sosial). Konsep hukum ini menampilkan wajah hukum sebagai regularities (pola-pola perilaku) yang terjadi di alam pengalaman dan/atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari (sine ira et studio).
Kedua kubu ini, sesungguhnya hanya menunjukkan adanya perkembangan kreativitas manusia dalam upayanya untuk membangun pemahaman yang benar tentang pranata hukum. Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, semua persfektif yang dipakai untuk melihat wajah hukum, harus bisa saling menyapa.
b. Prolog, Basis Sosial Hukum : Pertautan Ilmu Hukum dan Ilmu Pengetahuan Sosial
Dewasa ini, susunan masyarakat dan kehidupannya menjadi semakin kompleks, sehingga pengaturan hukum tidak lagi cukup kalau hanya dipahami secara yuridis-normatif, hukum juga juga perlu diberi ruang untuk masuknya studi-studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial.
Hakikat ilmu pengetahuan sosial itu bersifat deskriptif yang berusaha memaparkan apa adanya dan tidk mengemukakan apa yang seharusnya tentang suatu realitas sosial. Sedangkan hakikat ilmu pengetahuan hukum bersifat normatif dan evaluatif, sehingga diperlukan “teori hukum sosial” untuk memperluas wawasan keilmuan dari hukum agar keluar dari kungkungan paradigma lama. Fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial sudah tidak dapat lagi mengandalkan sepenuhnya pada kemampuan peraturan-peraturan hukum formal. Pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu sosial akan menjadi bahan yang sangat berharga dalam menuntun dan memberitahu tentang membuat peraturan yang semstinya, bagaimana menerapkan peraturan dan menilai produk hukum tersebut sehinggga bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
c. Bagian Pertama : Cita Hukum
i. Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya
Fungsi hukum :
1) Untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang yang telah ada
2) Hukum sebagai salah satu sarana atau alat
Terdapat fungsi hukum lain yang dijelaskan oleh para ahli hukum, diantaranya adalah fungsi hukum menurut Hoebel.
Hukum tidak dapat didefinisikan dengan memadai dan memuaskan semua pihak karena terdapat berbagai segi dan bentuk hukum.
Tujuan hukum :
1) Menemukan keadilan (teori etis)
2) Menjamin kebahagiaan terbesar ( teori utilitas)
3) Mencapai ketertiban (teori campuran)
Hukum sebagai suatu sistem norma, yang berasal dari norma sebelumnya yang lebih tinggi ( stufen theory) dan akan berhenti pada norma tertinggi, atau Hans Kelsen menyebutnya sebagai Grundnorm atau basic norm. Dalam perumusannya hukum positif harus dipahami sebagai suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentangan antara norma norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya.
ii. Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis

iii. Pergeseran Paradigma Hukum : Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral.

II. URAIAN PEMIKIRAN
a. Sinzheimer
Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam lingkup manusia-manusia yang hidup. Jadi, bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.
b. Eugen Erlich
Eugen Erlich mengangkat masalah mengenai perbantahan terhadap kehandalan formalisme dalam memahami dan menjelaskan masalah hukum, dengan ucapan sebagai berikut ;
“....the center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self.....”
Dengan demikian, hukum tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial yang ada, sehingga perlu menguasai ilmu-ilmu sosial agar dapat menambah pemahaman mengenai hubungan antara hukum dan masyarakat sehingga fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial dalam berjalan optimal.
c. Northop
Northop menjelaskan bahwa hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”. Hukum yang hidup menurut Eugen Erlich dimaknakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum.
d. Justice Brandeis
Brandeis mengatakan : “....A lawyer who has not studied economies and sosiology is very apt to become a public enemy”. Agar lembaga dan pranata hukum dapat berperan menata kehidupan sosial yang lebih baik dan manusiawi maka para penstudi hukum harus mau mempelajari ilmu ekonomi dan sosial agar tidak menjadi `public enemy’.
e. Yap Thiam Hien
Yap Thiam Hien mengatakan :”Sudah 20 tahun para advokat baik secara kolektif atau perorangan mencoba menghumanisasikan hukum dan lembaga-lembaga hukum tanpa mencapai hasil yang nyata. Sebabnya antara lain adalah approach yang salah karena kurang mengerti seluk beluk perubahan. Dan hal ini mungkin diakibatkan oleh kekurangan pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial dan politik dan khususnya tentang sosiologi.
f. William J. Chambliss dan Robert B. Seidman
Chambliss & Seidman berusaha memanfaatkan teori dari ilmu sosial yaitu teori ‘persepsi peranan”. Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain. Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana respon yang akan diberikan oleh pemegang peran, antara lain;
1. Sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya
2. Aktivitas dari lembaga pelaksana hukum
3. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja atas diri pemegang peranan itu.
Tindakan apapun yang akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat Undang-Undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya ekonomi dan politik, dan lain sebagainya.
III. URAIAN PEMIKIRAN
a. Lemaire
Menurut lemaire, hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia, menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.
b. Mr. Dr. Kisch
Mr. Dr. Kisch mengatakan bahwa oleh karena hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh panca indera maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum.
c. Jeremy Bentham
Terdapat beberapa teori tentang tujuan hukum, diantaranya adalah teori Utilitas. Penganut teori ini antara lain, Jeremy Bentham berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.
d. Muchtar Kusumaatmadja
Berbicara tentang tujuan hukum, Muchtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat dan zamannya.
e. Hoebel
Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu ;
1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang.
2. Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.
3. Menyelesaikan sengketa
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian pula hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat.
f. Lawrence M. Freidman
Freidman mengemukakan bahwa hukum itu merupakan gabumgan antara komponen struktur, substansi dan struktur.
1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkn untuk melihat bagimana sistem hukumitu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
3. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau disebut kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.
g. Lon L. Fuller
Lon L. Fuller berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan (8) azas atau principles of legality berikut ini;
1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan
3. Peraturan tidak boleh berlaku surut
4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar