Friend

Minggu, 17 Januari 2010

TINJAUAN FILOSOFI PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM PEMBERIAN INFORMED CONSENT DI RUMAH SAKIT

TINJAUAN FILOSOFI PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM PEMBERIAN
INFORMED CONSENT DI RUMAH SAKIT



OLEH :IDA SUGIARTI
NPM : 20040009001 – 00844

Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Melihat penjelasan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan tersebut, upaya kesehatan merupakan kegiatan yang terus – menerus, terintegrasi, menyeluruh dan ditujukan sepanjang rentang kehidupan manusia baik sehat maupun sakit bahkan mulai dari manusia itu lahir sampai menjelang ajal harus dilayani oleh tenaga kesehatan dengan tujuan mempertahankan derajat kesehatan yang optimal sesuai dengan kondisinya. Definisi kesehatan harus dipahami oleh tenaga kesehatan sesuai dengan definisi UU 23/1992 tersebut bukan hanya sehat secara fisik saja tapi juga harus diperhatikan kesehatan dari jiwa dan lingkungan sosialnya, sehingga tujuan mencapai derajat kesehatan yang optimal bisa terwujud sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti yang tersurat dalam alenea IV (keempat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi dari kebijakan UU 23/1992. Pelayanan kesehatan selama ini seringkali hanya tersentral pada pelayanan medik saja yang berorientasi pada kesembuhan (curatif) seperti yang diatur oleh UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Pelayanan kesehatan yang terfragmentasi tentu tidak akan optimal mencapai derajat kesehatan yang dimaksud UU 23/1992 tersebut, tetapi membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terintegrasi dari semua tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi, sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat. Ciri –ciri dari profesi adalah dilandasi ilmu pengetahuan tertentu, relevansi dengan nilai sosial, motivasi terhadap kerja, melewati jalur pendidikan (pelatihan) di institusi pendidikan, memiliki otonomi, komitmen terhadap pekerjaan, rasa komunitas dalam kelompok profesi, dan harus memiliki kode etik. Salah satu ciri profesi yang paling banyak direkomendasikan oleh banyak ahli sosiologi adalah profesi harus memiliki otonomi sebagai satu-satunya karakteristik pembeda profesi. Otonom adalah kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah dan tindakannya sendiri. Untuk memiliki otonomi, profesi keperawatan harus memiliki kewenangan legal untuk menetapkan ruang lingkup prakteknya, menjelaskan peran dan fungsi khususnya yang membedakannya dengan profesi lain, dan dapat menentukan tujuan dan tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu memberikan informed consent kepada pasien.
Persetujuan tindakan medik/ Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri. Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.(Lihat Permenkes RI Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran).
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana hak-hak pasien dalam pemberian informed consent di Rumah Sakit?
2. Bagaimana filosofi peran dan fungsi perawat dalam pemberian informed consent di Rumah Sakit?

C. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan ini terdiri dari tiga bab. Bab I, Pendahuluan berisi latar belakang peran dan fungsi perawat dalam pemberian informed consent di Rumah Sakit, Identifikasi masalah dan metodologi penulisan. Bab II, Pembahasan, berisi tinjauan pustaka tentang hak-hak pasien dalam pemberian informed consent di Rumah Sakit, tinjauan filosofi peran dan fungsi perawat dalam pemberian informed consent di Rumah Sakit, persfektif hukum Islam terhadap hak-hak pasien dalam pemberian informed consent di Rumah Sakit. Bab III, Penutup, terdiri dari simpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak-Hak Pasien dalam Pemberian Informed Consent di Rumah Sakit.
Interaksi pasien, dengan tenaga kesehatan dan juga dengan rumah sakit atau antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan akan melahirkan hak dan kewajiban. Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam sistem hukum Islam menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada hak. Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak pasien menjadi suatu keharusan.
Hukum diharapkan akan melindungi kepentingan hak. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan sebagai konsumen, dilindungi oleh UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hak pasien selalu dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak-hak pasien diantaranya ;
a. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
b. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent : suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur & konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
c. Hak atas rahasia medis
d. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
e. Hak untuk melihat rekam medik
f. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya
Lansia, gangguann mental, anak dan remaja di bawah umur
g. Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten
h. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
i. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
j. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
k. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
l. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
m. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
n. Hak menjalankan ibadah sesuai agama / kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
o. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
p. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya
q. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
r. Hak didampingi perawat / keluarga pada saat diperiksa dokter

Hak pasien yang pertama disebutkan dalam beberapa literatur adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak health care receiver antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut.
Hak pasien dalam doktrin informed consent adalah ;
1. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang hendak dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap dirinya ,
2. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya,
3. Hak untuk memilih alternatif lain, jika ada,
4. Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan, disebut informed refusal, yaitu penolakan dari pasien sesudah memperoleh informasi dan penjelasan tentang tindakan tersebut.



B. Tinjauan Filosofi Peran dan Fungsi Perawat dalam Pemberian Informed Consent di Rumah Sakit.
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit. Doheny et al, (1982 : 109), dalam bukunya the Discipline Of Nursing mengidentifikasi elemen peran perawat professional sebagai berikut :
a. Care giver (Pemberi asuhan keperawatan)
b. Client advocate
Perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights.

c. Conselor
Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat sakit
d. Educator (Pendidikan Kesehatan)
e. Collaborator (Berkolaborasi dengan tim kesehatan)
f. Coordinator
g. Change Agent
h. Consultant
Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yg lain. Fungsi perawat yaitu ;
a. Fungsi independen (mandiri)
Aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas inisiatif perawat itu sendiri dengan dasar pengetahuan dan keterampilannya.
b. Fungsi dependen (ketergantungan)
Tindakan keperawatan berdasarkan order dokter atau tenaga kesehatan lain.
c. Fungsi interdependen (kolaboratif)
Aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas kerjasama dengan tim kesehatan lain.
Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, rumah Sakit merupakan salah satu jenis Sarana Kesehatan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159b/Men.Kes/Per/II/1988, Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.
Tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu hubungan teurapeutik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya merupakan objek pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan khususnya.
Rumah sakit milik pemerintah maupun dikelola masyarakat berperan menyelenggarakan pelayanan upaya kesehatan yang diawasi oleh pemerintah. Upaya kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan sesuai dengan keahliannya seperti yang diamanatkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan. Penempatan tenaga kesehatan salah satunya adalah di rumah sakit Tenaga kesehatan dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit harus diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam melaksanankan hubungan. Peraturan-peraturan ini dituangkan dalam hukum kesehatan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien, hubungan tenaga kesehatan dan rumah sakit dan hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pemeliharaan kesehatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum di atas merupakan perikatan ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat verbentenis).
Perubahan paradigma berfikir tentang kesehatan agar sesuai dengan visi bangsa Indonesia seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 alenea IV harus mulai disosialisasikan. Fokus utama pelayanan kesehatan adalah pasien dan keluarganya sehingga bisa menjadi lebih produktif membawa dampak penyetaraan peran dan fungsi tenaga kesehatan.
Perawat sebagai salahsatu tenaga kesehatan berkewajiban melaksanakan peran dan fungsinya di sarana pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit untuk menunaikan hak-hak pasien. Hak pasien yang pertama disebutkan dalam beberapa literatur adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut.
Tujuan pemberian informed consent adalah ;
1. Memberi perlindungan pasien terhadap tindakan tenaga kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
2. Memberi perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern tidak tanpa risiko dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu risiko
Sedangkan fungsi pemberian informed consent adalah ;
1. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak menentukan nasib sendiri,
2. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care receiver = HCR),
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan,
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri,
5. Membuat keputusan - keputusan medis yang rasional,
6. Melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan pengawasan dalam penelitian bio-medik
Pada hakikatnya, informed consent tidak boleh dihubungkan dengan atau dijabarkan dari upaya serta pemikiran untuk menghindarkan atau membebaskan diri dari tanggung jawab resiko, dan atau semata-mata untuk dapat dilakukannya suatu tindakan secara syah, melainkan perlu dicari landasan filosofis yang terlepas dari upaya dan pemikiran untuk mencapai tujuan tersebut. Terdapat tiga teori tentang informed consent berikut pandangan yang mendasarinya.
a. Teori manfaat untuk pasien (Het nut voor de patient als theorie over informed consent)
Setiap tindakan tenaga kesehatan harus sesuai dengan kode etik masing-masing profesi kesehatan. Perawat mempunyai kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi yaitu PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia). Setiap kode etik mensyaratkan bahwa apa pun yang dilakukan tenaga kesehatan harus dilakukan untuk kepentingan pasien dan dapat bermanfaat untuk pasien. Kemanfaatan merupakan hal yang sangat subyektif tergantung situasi dan kondisi masing-masing pasien serta nilai yang dianut pasien. Sehingga pada hakikatnya pemberian informasi kepada pasien harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga pasien dapat berperan aktif dalam pengambilan keputusan yang dapat bermanfaat bagi pasien.
b. Teori manfaat bagi pergaulan hidup (Het nut voor de patient samenleving als theorie over informed consent)
Teori ini menitikberatkan pada pandangan utilitis, yaitu bahwa kemanfaatan yang terbesar adalah bagi jumlah yang terbesar. Teori ini membenarkan eksperimen yang dipandang lebih banyak manfaatnya daripada menghasilkan yang tidak baik.
c. Teori menentukan nasib sendiri (De zelfbeschikkings theorie over informed consent).
Teori ini lebih dapat diterima daripada dua teori sebelumnya. Teori ini mensyaratkan bahwa informed consent diberikan atas dasar hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri.
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan dalam memberikan informed consent kepada pasien harus berpijak pada landasan filosofis untuk memperioritaskan hak pasien dalam menentukan nasibnya sendiri.
C. Persfektif Hukum Islam terhadap Hak Pasien dalam Pemberian Informed Consent.
Hukum Islam melindungi hak pasien sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pemikiran hukum Barat memandang Hak Asasi Manusia bersifat antroposentris (berpusat pada manusia), sedangkan hukum Islam bersifat teosentris (berpusat pada Tuhan). Manusia adalah penting tetapi yang lebih utama adalah Alloh SWT. Alloh lah pusat segala sesuatu. Ukuran hak asasi manusia harus tunduk pada aturan syariat Islam. Hak pasien untuk dapat menentukan nasibnya sendiri, harus sejalan dengan aturan syariat Islam.
Informed consent merupakan suatu perjanjian, kesepakatan antara pihak tenaga kesehatan dengan pasien. Secara etimologis perjanjian (yang dalam bahasa arab diistilahkan muahadah ittifa`, akkad) atau kontrak dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Masing-masing pihak harus menghormati pihak lain yang menbuat perjanjian, yang menjadi dasar hukum adalah Q.S Al Maidah ayat 1 ;

1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[*]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

[*] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Secara umum yang menjadi syarat syahnya perjanjian adalah ;
1. Tidak menyalahi hukum syari`ah yang disepakati asalnya
2. Harus sama ridho, dan ada pilihan
3. Harus jelas dan gamblang

Dokrin Informed consent juga berkaitan dengan kewajiban “menunaikan amanat”. Tenaga kesehatan harus menunaikan amanat untuk mendapatkan consent dari pasien, sebab pelanggaran amanat akan merugikan pasien. Hal tersebut disebutkan dalam Al Qur`an surat Al Anfal , ayat 27 :

27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.


BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Hak pasien yang pertama disebutkan dalam beberapa literatur adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan, melaksanakan peran dan fungsinya di Rumah Sakit dengan memperhatikan dan memprioritaskan hak-hak pasien sebagai konsumennya. Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk mengambil keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup kewenangannya setelah diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar filosofi tersebut bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi sehingga dapat mewujudkan keadaan sejahtera seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945.
B. SARAN
Tenaga perawat khususnya dan tenaga kesehatan pada umumnya harus dapat memahami peran dan fungsinya sesuai dengan lingkup kewenangannya dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk menunaikan hak-hak pasien.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Ctk Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 1996.

E.Utrecht/M.Saleh Djindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.1989.

J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.

J. Guwandi. Pengantar Ilmu Hukum Medik & Bio etika. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009
Kozier B, at all. Fundamentals Of Nursing. Addison Wesley. Massachusetts. 1991.

Kusnanto. Pengantar Profesi Dan Praktek Keperawatan Profesional. EGC. Jakarta. 2004.
M. Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia .. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2006.

Mochtar K & Arief S. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Alumni. Bandung. 1999.

M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.

M. Sofyan Lubis. Mengenal Hak Konsumen Dan Pasien. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. 2009.

Sri Praptianingsih. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006.


II. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

PP No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik


III. INTERNET

http://aswinsh.wordpress.com/2009/01/06/informed-consent-suatu-tinjauan-hukum/diakses tgl 9 desember 2009 jam 01.21 PM.

http://www.ajrc-aceh.org, Edisi Monday, 18/05/2009-13;41 WIB diakses tgl 1 Oktober 2009 jam 12 AM

http://www.research.umn.edu/consent/mod1soc/mod1sec4.html diakses 9 desember 2009 jam 01.43 PM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar