Friend

Minggu, 17 Januari 2010

SEJARAH HUKUM DOKTRIN INFORMED CONSENT

OLEH :IDA SUGIARTI
NPM : 20040009001 – 00844


Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Dahulu kala Hippocrates pernah menganjurkan untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap apa yang sedang dilakukan terhadapnya.....dan jangan mengungkapkan apa-apa tentang keadaan pasien baik sekarang atau kemudian hari (Perform calmly, and adroitly, concealing most things from the patient while you are attending him. Give necessary orders with cheerfulness and serenity, turning his attention away from what is being done to him.... Revealing nothing f the patient`s future or present condition...). Dengan perubahan zaman dan perkembangan ilmu dan tekhnologi serta informasi, maka anjuran Hippocrates ini tidak dapat dipertahankan lagi. Perkembangan zaman di Yunani dan Romawi kuno kemudian, para dokter telah memperoleh consent dari para pasien berdasarkan tujuan murni therapeutik. Latar belakangnya adalah berdasarkan suatu keyakinan bahwa seorang pasien akan sembuh lebih cepat apabila ia sendiri juga turut berpartisipasi dalam pengobatannya.
Konsep informed consent di zaman modern, telah mengalami suatu proses panjang sehingga menjadi doktrin yang mempunyai dasar legal. Konsep ini didasari oleh pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri. Sumber dasar doktrin ini berasal dari falsafah moral, sosial budaya dan politik, pengaruh falsafah moral menjadi pengaruh yang paling dominan.
Declaration of Lisbon (1981) dan Patient`s Bill of Right (American Hospital Association, 1972), menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berhubungan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Hukum diharapkan akan melindungi kepentingan hak. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan sebagai konsumen di Indonesia, dilindungi oleh hukum positip yaitu UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hak pasien selalu dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak-hak pasien diantaranya ;
a. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
b. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent : suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur & konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
c. Hak atas rahasia medis
d. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
e. Hak untuk melihat rekam medik
f. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya
Lansia, gangguann mental, anak dan remaja di bawah umur
g. Hak pasien dalam penelitian
h. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
i. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
j. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
k. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
l. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
m. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
n. Hak menjalankan ibadah sesuai agama / kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
o. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
p. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya
q. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
r. Hak didampingi perawat / keluarga pada saat diperiksa dokter
Hak pasien yang pertama disebutkan dalam beberapa literatur adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak health care receiver antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut.
Persetujuan tindakan medik/ Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan. Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang : “sejarah hukum doktrin informed consent”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana sejarah hukum informed consent?
2. Bagaimana hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan?

C. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan ini terdiri dari tiga bab. Bab I, Pendahuluan berisi latar belakang masalah sejarah hukum informed consent, Identifikasi masalah dan metodologi penulisan. Bab II, Pembahasan, berisi tinjauan pustaka tentang sejarah hukum informed consent, hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan, Persfektif Hukum Islam terhadap informed consent. Bab III, Penutup, terdiri dari simpulan dan saran.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah hukum informed consent.
Informed consent lahir karena ada hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dihormati. Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam sistem hukum Islam menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada hak. Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak pasien menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga memunculkan doktrin informed consent.
Di Perancis walaupun Nuremberg code acapkali dikatakan sebagai asal mulanya informed consent, namun yurisprudensi Perancis memastikan kebutuhan untuk memperoleh informed consent baru pada tahun 1920. Opini ini dipastikan oleh Mahkamah Agung Perancis pada 28 Januari 1942, bahwa semua dokter mempunyai kewajiban fundamental terhadap negara untuk memperoleh persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal hak atas informasi yang kemudian menjadi “Informed Consent”. Penambahan istilah “consent” menjadi “Informed Consent” di dalam prakteknya harus melalui beberapa fase. Maka dikatakan bahwa Informed Consent itu adalah suatu “Comunication Process”. Appelbaum, et al menekankan “ ....consent as a process, not an event”. Meisel & Lorel Roth memberi definsi doktrin Informed Consent sebagai “the legal model of the medical decision making process”.
Doktrin Informed Consent timbul berdasarkan karena 2 (dua) hal pokok, yaitu :
a. Equity, dalam arti kepatutan, dan
b. Battery, dalam arti penyentuhan/pencederaan tubuh seseorang tanpa izinnya.
Keputusan-keputusan pengadilan yang menyangkut masalah Equity sudah dimulai sejak abad ke-12 dan ke-13. Di dalam sejarahnya, hal ini berkaitan dengan masalah hubungan yang didasarkan atas suatu kepercayaan penuh pasien yang awam tentang kesehatan dengan dokternya yang dianggap profesi yang menguasai ilmunya dengan baik karena sudah ditempuh melalui jalur pendidikan. Maka, menjadi kewajiban dokter untuk memberi penjelasan kepada pasiennya, sehingga pasien bisa memutuskan atau mempertimbangkan suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sedangkan istilah “batery”, sering digunakan dengan istilah “assault”, sehingga menyatu menjadi “assault and batery”, (assault artinya serangan). “Assault and batery” termasuk tindakan yang bersifat kriminal, merupakan istilah kuno, namun masih dipergunakan dalam sistem Anglo Saxon sebagai arti pencederaan. Kasus “assault and batery” yang pertama sudah ditemukan pada tahun 1348.
Kasus “Slater vs Baker Stapleton”, tahun 1767 menurut Appelbaum, et al merupakan kasus yang pertama di Inggris dimana diputuskan bahwa dokter harus memperoleh ijin pasien terlebih dahulu sebelum melakukan tindakannya. Duduk persoalannya sebagai berikut :
Dua orang dokter dipersalahkan karena tanpa izin pasiennya telah memisahkan lagi callous (pertumbuhan tulang baru) dari suatu fraktur yang sudah mulai sembuh sebagian dan menyatu. Tindakan tersebut selain dilakukan tanpa izin pasien juga dianggap bertentangan dengan standar profesi medik, karena dokter bedah lain tidak akan berbuat demikian.
Kasus Mary E. Schoendorff vs The Society of the New York Hospital, muncul tanggal 14 April 1914, yang diputuskan di dalam Court of Appeals of New York. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut :
Pada bulan Januari 1908, Mary E. Schoendorff datang ke New York Hospital karena merasakan ada gangguan pada lambungnya. Rumah sakit yang didatanginya ini merupakan Rumah Sakit non profit dan yang bersifat amal (charity institution). Ia dirawat dan diperiksa oleh dokter Bartlett yang mendeteksi sebuah benjolan yang ternyata adalah sebuah “fibroid tumor”. Ia dikonsulkan kepada dokter Srimson yang menganjurkan operasi. Untuk memastikan adanya “fibroid tumor” tersebut harus dilakukan pemeriksaan dengan ether. Mary menyetujui untuk dilakukan pemeriksaan dengan ether, tetapi meyatakan kepada dokter Bartlett bahwa ia tidak mau dioperasi. Pada malam harinya, ia diambil dari bangsl interne dan dibawa ke bangsal bedah, dimana perawat menyiapkan untuk operasi. Esok harinya dilakukan pembiusan dengan ether da sewaktu pasien dalam keadaan tidak sadar, sebuah tumor telah diangkat. Mary mengatakan bahwa ini dilakukan tanpa persetujuannya, tetapi dibantah oleh para dokter dan perawat lainnya. Sesudah operasi dan menurut kesaksian para saksi, timbul gangren pada lengan kirinya, sehingga beberapa jarinya harus diamputasi. Penderitaannya hebat, maka ia menuntut rumah sakitnya. Mary dikalahkan, dengan dasar, menurut prinsip-prinsip hukum, sebuah Rumah Sakit yang bersifat amal (Charitable institutions) tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kelalaian para dokter dan perawatnya. Teori lain yang dipakai adalah teori yang mengatakan bahwa seorang pasien yang meminta pertolongan kepada suatu institusi amal dianggap telah melepaskan haknya untuk menuntut apabila ada kelalaian dalam tindakan yang dilakukan.
Mary mengajukan banding kepada Court of Appeals, dan Hakim Benyamin Cardozo J yang memeriksa memenangkannya dengan mengatakan bahwa : “Di dalam kasus ini, kesalahan yang digugat bukan hanya kelalaian saja. Ini adalah pelanggaran terhadap hak seseorang. Setiap manusia dewasa dan berakal sehat, berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri; dan seorang dokter ahli bedah yang melakukan suatu operasi tanpa persetujuan pasiennya dapat dipersalahkan telah melakukan suatu pelanggaran untuk mana ia harus bertanggung jawab atas segala kerugian” (In the case at hand, the wrong complained of is merely negligence. It is trespass. Ever human being of adult years and sound mind has a riht to determine what shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation without his patient`s consent commits an assault, for which he is liable in damages).
Kasus-kasus lain, mulai banyak bermunculan, sesudah kasus Mary E. Schoendorff. Di antaranya yang terkenal adalah kasus Allan vs New Mount Sinai Hospital (1980). Oleh hakim yang memeriksa diputuskan bahwa : “tanpa persetujuan, baik tertulis maupun lisan, tidak boleh dilakukan pembedahan. Ini bukan hanya formalitas belaka, ini adalah hak asasi dari seseorang utnuk dapat mengontrol terhadap tubuhnya sendiri, walaupun dalam hal yang menyangkut bidang medik. Adapun pasien, bukan dokternya, yang memberi keputusan apakah suatu pembedahan akan dilakukan dan oleh siapa pembedahan itu akan dilakukan. Kecuali dalam keadaan emergensi, namun keadaannya harus sedemikian rupa sehingga mengancam nyawanya dan tindakan itu bukan untuk memudahkan” ( Without consent, either written or oral, no surgery may be performed. This is not mere formality, it is an important individual right to have control over one`s own body, even where medical treatment is involved. It is the patient, not the doctor, who decides whether surgery will be performed, where it will be done, when it be done and by whom it will be done. Medical emergencies are exceptions to this principle, but the situation must be life-threatening and the opportunity most than just “convenient).
Menurut Prof. Azrul Azwar : “kehendak untuk menghormati hak asasi manusia dalam bidang kedokteran diterjemahkan sebagai hak-hak pasien (patient right) akhirnya ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran. Kode etik kedokteran disahkan pada Sidang Umum Organisasi Kedokteran Dunia, tahun 1949. Butir 6, kode etik ini menyatakan bahwa : “a physician shall respect the rights of the patient”.
Hak-hak pasien dimaksud tertera dalam pasal 3 antara lain “ ……to accept or refuse treatment after receiving adequate information”.
Di Indonesia kasus Muhidin di Sukabumi merupakan tonggak perkembangan doktrin Informed Consent yang diikuti dengan dikeluarkannya Fatwa IDI No. 319/P/BA./1988 dan diadopsi dalam Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Kasus tersebut berawal dari dokter GM. Husaini yang tidak menjelaskan bahwa resiko operasi matanya adalah “mata pasien akan tampak bolong.” Pasien Muhidin menggugat dokter yang bersangkutan telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu mengambil biji mata Muhidin. Permenkes yang terakhir adalah Permenkes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di Indonesia belum terdapat yurisprudensi yang dapat dijadikan pegangan sehingga belum bisa berkembang. Doktrin informed consent menyangkut masalah HAM (Hak Asasi Manusia) sehingga pengaturannya sebaiknya harus melalui perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

B. Hubungan hukum informed consent dengan tenaga kesehatan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri. Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan.
Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien termasuk dalm wilayah hukum perdata yaitu perjanjian untuk melakukan jasa (Pasal 1601 KUH Perdata) yang didasarkan atas hubungan saling percaya. Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum perikatan terdapat dalam buku ke III, pasal 1230 KUH Perdata yang menyatakan bahwa syarat syahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Jika dihubungkan dengan informed consent, maka :
Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, merupakan syarat pertama. Consent/ persetujuan dari pasien merupakan syarat untuk dilaksanakan perjanjian pelayanan kesehatan sehingga syah menurut hukum dan memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medik. Para pihak dalam hal ini pasien dan tenaga kesehatan harus sepakat. Rumah Sakit secara hukum perdata bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang berada di bawah tanggungjawabnya, dalam hal ini termasuk dalam pelaksanaan informed consent.
Ad. 2. Kecakapan para pihak dalam hal ini tenaga kesehatan maupun pasien, harus sudah dewasa dan akil baligh sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Orang yang belum dewasa atau mengalami gangguan pikiran, maka diwakili oleh wali atau orang tuanya. Pasien yang sudah dewasa bisa memberikan consentnya dan pada ana-anak diwakili oleh orang tuanya. Tetapi untuk negara-negara Asia termasuk Indonesia seringkali peran keluarga sangat dominan.
Ad. 3. Suau hal tertentu yang diperjanjikan itu harus sudah jelas, bukan suatu hal yang umum. Dalam hal ini sudah jelas, yaitu tetang usaha untuk kesembuhan pasien dan imbalan bagi tenaga kesehatan.
Ad. 4. Adanya suatu sebab yang halal dalam hubungan tenaga kesehatan dan pasien, artinya tidak boleh melanggar hukum, kesusilaan maupun ketertiban umum. Tenaga kesehatan melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan jasa atas dasar kemanusiaan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien juga diatur oleh hukum pidana. Apabila melakukan tindakan medik tanpa persetujuan atau consent pasien maka dianggap melangggar pasal 351 KUH Pidana mengenai penganiayaan. Meskipun secara yuridis formil belum ada justifikasi, tetapi ilmu pengetahuan telah menerima tindakan pembedahan dokter melalui konstruksi ”materieel niet wedeerchtelijk”, secara materiil tidak bertentangan dengan hukum atau atas konstruksi yuridis ”ketidakadanya kesalahan”, AVAS, (Afwezigheid van alle schuld) sama sekali tidak adanya kesalahan.
C. Persfektif Hukum Islam terhadap informed consent.
Informed consent merupakan suatu perjanjian, kesepakatan antara pihak tenaga kesehatan dengan pasien. Secara etimologis perjanjian (yang dalam bahasa arab diistilahkan muahadah ittifa`, akkad) atau kontrak dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Masing-masnig pihak harus menghormati pihak lain yang menbuat perjanjian, yang menjadi dasar hukum adalah Q.S Al Maidah ayat 1 ;


"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[*]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."

[*] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Secara umum yang menjadi syarat syahnya perjanjian adalah ;
1. Tidak menyalahi hukum syari`ah yang disepakati asalnya
2. Harus sama ridho, dan ada pilihan
3. Harus jelas dan gamblang
Dokrin Informed consent juga berkaitan dengan kewajiban “menunaikan amanat” . Tenaga kesehatan harus menunaikan amanat untuk mendapatkan consent dari pasien, sebab pelanggaran amanat akan merugikan pasien. Hal tersebut disebutkan dalam Al Qur`an surat Al Anfal , ayat 27 :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui."

BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN

Perkembangan sejarah hukum informed consent, telah mengalami suatu proses panjang di semua negara. Terdapat berbagai pendapat yang menjelaskan timbulnya hukum informed consent, yang paling utama adalah dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak pasien yang paling mendasar. Terdapat beberapa kasus yang kemudian menjadi dasar yurisprudensi untuk pedoman menangani kasus berikutnya. Di indonesia doktrin informed consent masih belum berkembang dengan baik, dibutuhkan kajian ulang terhadap aturan yang ada sehingga bisa mengingat para pihak.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Tenaga kesehatan bisa terkena gugatan perdata maupun pidana. Oleh karena itu, pengetahuan tenaga kesehatan tentang informed consent menjadi suatu kemestian agar tidak menimbulkan kasus hukum.

B. SARAN
Sebaiknya aturan yang ada ditingkatkan menjadi setingkat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah karena berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, sebaiknya pembagian tugas informed consent harus jelas antara tiap tenaga kesehatan sehingga akan lebih jelas tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU


Al Qur`anul Karim dan terjemahan dalam Al Qur`an Digital.

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Ctk Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 1996.

E.Utrecht/M.Saleh D. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.1989.

J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.

J. Guwandi, Pengantar Ilmu Hukum Medik & Bio-etika FKUI .Jakarta. 2009


M. Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia .. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2006.

Mochtar K & Arief S. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. 2000.

M. Sofyan Lubis. Mengenal Hak Konsumen Dan Pasien. Pustaka Yustisia. Jakarta 2009.



II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


KUH Perdata & Pidana

Undang- Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik





III. INTERNET


http://aswinsh.wordpress.com/2009/01/06/informed-consent-suatu-tinjauan-hukum/diakses tgl 9 desember 2009 jam 1.21 PM.

Http://www.ajrc-aceh.org, Edisi Monday, 18/05/2009-13;41 WIB diakses tgl 1 Oktober 2009 jam 12 AM

http://www.research.umn.edu/consent/mod1soc/mod1sec4.html diakses 9 desember 2009 jam 1.43 PM.

1 komentar:

  1. Casinos that Accept PayPal - Only Real Money Play in
    PayPal 1xbet korean Casino FAQ — 봄비 벳 How seda bet Does PayPal Work? — PayPal casinos are not regulated by bet any jurisdiction under w88 com login any jurisdiction. PayPal gambling sites will only accept

    BalasHapus